Secara etimologis istilah “Pancasila” berasal
dari Sansekerta dari India (bahasa kasta Brahmana) adapun bahasa rakyat biasa
adalah bahasa Prakerta. Menurut Muhammad Yamin, dalam bahasa sansekerta
perkataan “Pancasila” memilki dua macam arti secara leksikal yaitu “panca”
artinya lima ,“syila” vokal I pendek artinya batu sendi , alas atau
dasar. “syiila” vokal i pendek artinya peraturan tingkah laku
yang baik, yang penting atau yang senonoh. Jadi secara harfiah memiliki maksud
dasar yang memiliki lima unsur.
Kata-kata tersebut kemudian dalam bahasa Indonesia terutama bahasa Jawa
diartikan “susila “ yang memilki hubungan dengan moralitas. Oleh
karena itu secara etimologis kata “Pancasila” yang dimaksudkan adalah adalah
istilah “Panca Syilla” dengan vokal i pendek yang memilki makna leksikal
“berbatu sendi lima” atau secara harfiah “dasar yang memiliki lima unsur”.
Adapun istilah “Panca Syiila” dengan huruf Dewanagari i bermakna 5 aturan
tingkah laku yang penting.
Kata Pancasila mula-mula terdapat dalam kitab Tripitaka Budha di
India. Dalam ajaran Budha terdapat ajaran moral untuk mencapai nirwana dengan
melalui semedhi dan setiap golongan mempunyai kewajiban moral yang berbeda.
Ajaran moral tersebut adalah Dasasyiila, Saptasyiila, Pancasyiila. Pancasyiila
menurut Budha merupakan lima aturan (five moral principle) yang harus ditaati,
meliputi larangan membunuh, mencuri, berzina, berdusta dan larangan
minum-minuman keras. Melalui penyebaran agama Hindu dan Budha, kebudayaan India
masuk ke Indonesia sehingga ajaran Pancasyiila masuk kepustakaan Jawa terutama
jaman Majapahit 1365 yaitu dalam buku syair pujian Negara Kertagama karangan
Empu Prapanca dan kitab sutasoma oleh Mpu Tantular disebutkan raja
menjalankan dengan setia ke lima pantangan (Pancasila). Setelah Majapahit
runtuh dan agama Islam tersebar, sisa-sisa pengaruh ajaran moral Budha
(Pancasila) masih dikenal masyarakat Jawa yaitu lima larangan (mo limo/M5) :
mateni (membunuh), maling (mencuri), madon (berzina), mabok (minuman
keras/candu), main (berjudi).
*.Hakekat pancasila secara historis
Sidang
BPUPKI pertama membahas tentang dasar negara yang akan diterapkan. Dalam sidang
tersebut muncul tiga pembicara yaitu M. Yamin, Soepomo dan Ir.Soekarno yang
mengusulkan nama dasar negara Indonesia disebut Pancasila. Tanggal 18
Agustus 1945 disahkan UUD 1945 termasuk Pembukaannya yang didalamnya termuat
isi rumusan lima prinsip sebagai dasar negara. Walaupun dalam Pembukaan UUD
1945 tidak termuat istilah/kata Pancasila, namun yang dimaksudkan dasar negara
Indonesia adalah disebut dengan Pancasila. Hal ini didasarkan atas interpretasi
historis terutama dalam rangka pembentukan rumusan dasar negara yang secara
spontan diterima oleh peserta sidang BPUPKI secara bulat. Secara historis
proses perumusan Pancasila adalah :
a. Mr. Muhammad Yamin
Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945,
M. Yamin berpidato mengusulkan lima asas dasar negara sebagai berikut :
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Setelah berpidato beliau juga menyampaikan usul secara tertulis mengenai
rancangan UUD RI yang di dalamnya tercantum rumusan lima asas dasar negara
sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang
Maha Esa
2. Kebangsaan
persatuan Indonesia
3. Rasa
kemanusiaan yang adil dan beradab
4. Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia
b. Prof. Dr. Mr. Soepomo
Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 Soepomo
mengusulkan lima dasar negara sebagai berikut :
1. Paham Negara Persatuan
2. Perhubungan Negara dan Agama
3. Sistem Badan Permusyawaratan
4. Sosialisasi
5. Hubungan antarbangsa yang bersifat Asia Timur Raya
c. Ir. Soekarno
Pada tanggal 1 Juni 1945 di dalam sidang
BPUPKI Ir. Soekarno berpidato secara lisan (tanpa teks) mengenai
calon rumusan dasar negara Indonesia. Kemudian memberikan nama “Pancasila” yang
artinya lima dasar, ini menurut Soekarno atas saran dari salah seorang temannya
yaitu seorang ahli bahasa yang tidak disebutkan namanya. Perumusannya adalah
sebagai berikut:
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang berkebudayaan
D. Perumusan
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan
sidang oleh 9 anggota BPUPKI (Panitia Sembilan) yang menghasilkan “Piagam
Jakarta” dan didalamnya termuat Pancasila dengan rumusan sebagai berikut :
1.
Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
sya’riat Islam bagi pemeluk –
pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
*. Hakekat pancasila secara terminologis
Dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan
tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI tercantum rumusan Pancasila sebagai berikut :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /
Perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 inilah
yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara Republik
Indonesia. Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam upaya bangsa
Indonesia mempertahankan proklamasi dan eksistensinya, terdapat pula
rumusan-rumusan Pancasila sebagai berikut :
a) Dalam Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (29 Desember – 17 Agustus
1950) :
1950) :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan Sosial
b) Dalam UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959) :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kerakyatan
5. Keadilan Sosial
c) Dalam kalangan masyarakat menggunakan
Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 :
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Peri Kemanusiaan
3. Kebangsaan
4. Kedaulatan Rakyat
5. Keadilan Sosial
Dari berbagai macam rumusan Pancasila, yang sah dan
benar adalah rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 sesuai
dengan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 dan Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000.